Sabtu, 17 Maret 2012

Khong A Djong Sang Pewaris Ilmu Kungfu Wong Fei Hong dari Semarang


Bagi sebagian masyarakat Tionghoa Semarang, nama Khong A Djong tak terlampau asing. Mereka senantiasa menambahkan kata "suhu" saat menyebut namanya. Sebutan itu menjadi tengara, betapa ia bukan lelaki biasa.

Khong A DjongBanyak kemampuan dia miliki, selain seni bela diri kung fu, A Djong juga menguasai ilmu pengobatan tradisional Tiongkok untuk menyembuhkan patah tulang. Di antara gambar-gambar anatomi tubuh manusia yang terpasang di dinding ruang praktik Suhu Khong A Djong di Jl MT Haryono Semarang, sebuah reproduksi foto kuno terasa lebih menarik perhatian.

Gambarnya, seorang pemuda berambut cepak tengah berdiri gagah bersedekap tangan. Badannya sedang-sedang saja, tak begitu besar, pun terlampau kecil. Namun tubuh pemuda itu terlihat kukuh dengan sembulan otot-otot di kedua lengan dan hastanya. Lebih gagah, karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit harimau (fu bei sam).

"Ini foto saya waktu masih muda dulu, kira-kira umur 30-an," tutur Khong A Djong lirih

Rasanya susah membayangkan, pemuda dalam foto itu Khong A Djong, sebab pada usia tuanya saat ini, tubuh lelaki itu terlihat renta dan rapuh. Untuk berjalan atau beranjak dari tempat duduknya saja, dia harus dipapah seorang pembantu. Begitu pun artikulasi suaranya saat bicara, tak lagi mudah ditangkap. Agar bisa dipahami, perlu "transliterasi" putra bungsunya Khong Fan Shen (41).

Untuk meyakinkan, Khong Fan Shen mengambil pakaian kulit harimau yang terdapat dalam foto dari dalam lemari. Serupa dengan tubuh Khong A Djong, kondisi pakaian yang terbuat dari kulit harimau asli itu juga terlihat rapuh. Beberapa bagiannya telah koyak oleh usia. Tak berlebihan jika Khong A Djong repot-repot menyimpannya, sebab itulah kenangan terindah yang dia dapatkan di masa muda sebagai pendekar kung fu.

Menurut Khong A Djong, pakaian kulit harimau itu dia dapatkan setelah memenangi kejuaraan kung fu gaya bebas di daratan Tiongkok (baligay) selama tujuh kali berturut-turut.

Kebanggaan lain, dia mengaku pernah mencecap ilmu kung fu Siong Mao, murid mahaguru kung fu legendaris Tiongkok Wong Fei Hong .Khong A Djong lahir di Kampung Gabahan Lengkong Buntu, kawasan Pecinan Semarang pada 10 Oktober 1896, sebagai anak tunggal dari pasangan Khong Hien Yie dan Lie Kwat Nio, yang berprofesi sebagai pedagang lo shio bak (**** panggang). Menurut dia, "Khong" sebagai nama depan, menunjukkan dirinya sebagai keturunan ke-70 filsuf besar Khong Hu Cu.

Berguru di Tiongkok

Umur enam tahun, orang tuanya menitipkan Khong A Djong kepada seorang pamannya yang tinggal di Kota Nam Hai, Provinsi Kwang Tung, Tiongkok. Di negeri besar itu, dia belajar kung fu di Siao Liem Sie, perguruan masyhur tempat para pendekar kung fu terbaik Tiongkok menuntut ilmu. Jangan tanya guru-gurunya, hampir semuanya nama-nama kondang, satu di antaranya Siong Mao, murid Wong Fei Hong.

Di perguruan yang juga menelurkan bintang film kung fu legendaris Bruce Lee itu, dia memelajari dua aliran kung fu, yakni siau liem dan nggo mbie paei. Siau liem adalah aliran kung fu dari Tiongkok Selatan yang mengutamakan pertarungan tangan kosong jarak jauh. Adapun nggo mbie paei, berasal dari Tiongkok Utara yang mengedepankan pertarungan tangan kosong jarak pendek. Meski demikian, penggunaan senjata seperti toya, pedang, trisula, kwang tauw, tombak, golok, hwa, dan tali, juga diajarkan.

"Dibandingkan dengan senjata-senjata yang lain, tali adalah senjata paling hebat. Meski kelihatannya sepele, dia bisa mengalahkan pedang, tombak, golok, dan senjata tajam lainnya," jelasnya.

Di luar itu, setiap murid juga mendapat ilmu bahasa sandi dan pengobatan cidera. Bahasa sandi digunakan untuk pembicaraan rahasia antarkawan seperguruan. Bahasa itu, sekaligus menjadi identitas keanggotaan Siao Liem Sie. Jika dua orang bertemu di jalan dan bisa berbincang dengan bahasa sandi itu, hampir dapat dipastikan mereka saudara seperguruan.

Khong Fan Shen mengisahkan, suatu ketika ayahnya didatangi beberapa murid seperguruan dari Tiongkok. Saat bersua, mereka berbicara dengan bahasa aneh yang tak dia mengerti. Namun, kendati belum pernah bertemu sebelumnya, mereka terlihat sangat akrab. Bahasa sandi Siau tak boleh diajarkan kepada orang lain di luar perguruan.

Dari Jual Koran sampai "Ndoyong A Djong"

PERNAH dengar istilah "ndoyong adjong"? Kalau Anda warga Semarang yang pernah hidup pada masa 1960-an hingga 1980-an, tentu mengakrabinya. Itu istilah untuk menyebut seseorang yang berada dalam kondisi mabuk berat oleh minuman keras. Adjong telah menjadi totem proparte dari minuman anggur kolesom. Sebab sejatinya ia adalah sebuah merek: "Anggur Tjap A Djong".

Istilah ndoyong adjong membuktikan, betapa merek minuman beralkohol yang diproduksi di Jl Beteng, Gang Tengah, tersebut amat populer di kalangan masyarakat Semarang kala itu. Pada tahun 1980-an, sekumpulan mahasiswa sebuah perguruan tinggi di kota ini bahkan menggunakan "Ndoyong A Djong" sebagai nama grup band mereka. Kendati demikian, tak banyak orang tahu, A Djong merupakan pemendekan nama sang pemilik pabrik, Khong A Djong. Ya, dalam satu babak kehidupannya, lelaki uzur itu pernah berbisnis minuman keras dan cukup menangguk untung darinya.

Namun, sebelum itu, dia harus bersusah-payah bekerja apa saja untuk sekadar mempertahankan hidup. Setelah 27 tahun belajar kung fu di Tiongkok, dia dipanggil orang tuanya pulang ke Semarang untuk menikah dengan seorang gadis tetangga dari Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Auw Yang Ien Nio. Usai menikah mereka pindah ke Kampung Brondongan. Akibat terlampau lama di Tiongkok, Khong A Djong tak bisa berbahasa Melayu ataupun Jawa. Tentu saja, hal itu menyulitkannya dalam berinteraksi, baik sosial maupun ekonomi.

"Pekerjaan pertama yang saya lakoni adalah jualan koran. Sambil jualan, saya belajar bahasa Melayu kepada orang-orang yang suka nongkrong di klenteng-klenteng," kisah Khong A Djong.

Tak puas dengan hasil menjual koran, dia berganti profesi menjadi penjual mie tie tee keliling. Meski disibukkan dengan pekerjaan, Khong A Djong tak meninggalkan dunia kung fu yang selama 27 tahun dipelajarinya dengan susah payah. Ia latih anak-anak muda di kampungnya belajar jurus-jurus warisan Wong Fei Hong. Semenjak itulah, dia mendapat sebutan "suhu" di depan namanya.

Main Atraksi

Untuk mencari penghasilan tambahan, Suhu A Djong bersama murid-muridnya acap mengadakan atraksi kung fu di kelenteng-kelenteng dan tempat-tempat keramaian lain, seperti Alon-alon Semarang dan Pasar Johar. "Sering saya main atraksi di pelataran Kelenteng Gedhe (Tay Kak Sie) dan Sie Ong (Sebandaran). Kalau di Alon-alon dan Pasar Johar, pas ada orang adaken jualan jamu."

Pada 1936, Suhu A Djong dapat tempat melatih kung fu yang lebih representatif. Dia menjadi guru di Hoo Hap Hoei Koen, saat itu masih beralamat di Jl Plampitan. Di perkumpulan tersebut, dia mengajarkan ilmu kung fu aliran Siao Liem. Agar tak menyimpang dari ajaran asli, dia menamakan perkumpulan kung fu Hoo Hap Hoei Koen sebagai Siao Liem Cen Cung Pay (Siao Liem yang orisinal).

Suatu ketika ada salah seorang keluarga Mayor Gedonggulo yang berguru kung fu padanya. Saat mendapat kesempatan meneruskan studi di Jerman, dia mengembangkan ilmu kung funya. Dari sanalah, Siao Liem Cen Cung Pay tersebar di seantero daratan Eropa.

"Sampai sekarang ada sekitar 25 cabang di Eropa, dan saya menjadi guru besar atau suhunya. Tapi aneh, di Indonesia sendiri Siao Liem justru tak ada penerusnya," katanya.

Seburuk-buruk kondisi kehidupan Suhu A Djong, dia alami pada masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Suasana perang tak memberi ruang baginya untuk dapat bekerja dengan baik. Demikian nelangsa, sampai-sampai, untuk dapat sekadar makan, istrinya harus memungut ceceran beras di Pasar Kobong.

Ingin mengubah nasib, Suhu A Djong mencoba usaha baru, menjadi gua tiak alias pengijon. Kendati tak punya kemampuan dasar gua tiak, dia mantap saja menjalaninya. Sedikit-sedikit ikhtiarnya berbuah hasil. Pemilik alis panjang tersebut menjadi pengepul palawija dan ikan asin di desa Jepuro, Juwana. Komoditas itu selanjutnya dia bawa dan jual ke Semarang. Mula-mula ia hanya mampu menumpang praoto (mobil angkutan) untuk pulang-pergi dari Kota Bandeng itu. Namun setelah usaha dagangnya maju, Suhu A Djong bisa membeli sebuah Harley Davidson.

Hasil keuntungan dagang dia kembangkan untuk membangun pabrik minuman anggur "Tjap A Djong" seperti telah diurai di awal tulisan ini. Kini, di masa tuanya, Khong A Djong tak mau tinggal diam. Meski tubuhnya telah renta, lelaki yang dikaruniai lima putra, 15 cucu dan beberapa cicit itu masih beraktivitas. Sehari-hari ia membuka praktik penyembuhan patah tulang di rumahnya.

Sumber : Wartawan Suara Merdeka Rukardi

Info tambahan beliau ternyata telah wafat bulan september 2008
<sumber : kaskus.us>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar